Selasa, 30 Oktober 2012

PAI - Rangkuman BAB 3 dan BAB 4


TUGAS PENDIDIKAN AGAMA
(RANGKUMAN BAB 3 DAN 4)













 








NAMA : ROMADHONI FEBY INDRIANI
NPM : 121000097
KELAS : B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
BAB 3. Sumber-Sumber Kebenaran
A.      Ilmu
                Kata ilmu secara etimologi berarti tahu atau pengetahuan. Kata ilmu berasal dari bahasa Arab  ‘Alima-ya ‘lamu, dan science dari bahasa latin Scio, scire artinya to know. Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah epitisteme. Sedangkan secara terminologi ilmu atau science adalah semacam pengertahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat tertentu. Dari berbagai definisi para ahli kiranya dapat dipahami bahwa ilmu adalah sekumpulan pengetahuan yang diorganisir secara sistematis berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang kemudian dihubungkan berdasarkan pemikiran yang cermat dan teliti dan dapat dipertanggung jawabkan dengan berdasarkan metode.
                 Pada  umumnya objek atau lapangan ilmu pengetahuan itu ialah alam dan manusia. Oleh para ahli, kedua objek tersebut dikelompokkan menjadi 2 kelompok, kelompok ilmu pengetahuan alam dana kelompok ilmu pengetahuan manusia. Willhelm Dil They menyebutnya dengan nature-wissenschaft dan geistes-wissenschaft.
                Ciri-ciri umum ilmu pengetahuan menurut randall sebagai berikut.
1.       Hasil ilmu sifatnya akumulatif, dan merupakan milik bersama
2.       Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak, dan bisa terjadi kekeliruan karena yang menyelidiki manusia.
3.       Ilmu itu objektif
                Pembagian ilmu pengetahuan ini tergantung dari cara dan tempat ahli itu meninjaunya. Menurut pembagian klasik :
1.       Natural science (kelompok ilmu-ilmu alam)
2.       Social science (kelompok ilmu-ilmu sosial)
Menurut UU Pokok Pendidikan tentang Perguruan Tinggi No. 22 Tahun 1961 di Indonesia:
1.       Ilmu agama
2.       Ilmu kebudayaan
3.       Ilmu sosial
4.       Ilmu eksakta dan teknik
Menurut Dr. C. A. Van Pourson:
1.       Ilmu pengetahuan kemanusiaan
2.       Ilmu pengetahuan alam
3.       Ilmu pengetahuan hayat
4.       Ilmu pengetahuan logik-deduktif
Menurut Alkindi, Alfaradi, Alghazali, dan Ibnu Khaldun:
1.       Ilmu tanziliah
2.       Ilmu kauniyah
              Salah satu ciri ilmu pengetahuan dalam mencari kebenaran adalah dengan menggunakan rasio. Manusia diciptakan Allah dengan dibekali akal dan alat-alat kognitif lain (An-nahl:78). Sudah menjadi tugas manusia untuk mengolah dan memanfaatkan alam dengan segala isinya agar manusia dapat memakmurkan dan mensejahterakan hidupnya (Hud:61).

    

B.      Filsafat
              Dari segi etimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani philosopia. Philo dari kata kerja philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta. Sophia berarti kebijaksanaan. Jadi philosophia adalah cinta akan kebjikasanaan atau pengetahuan yang benar.istilah philosophos pertama kali digunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 SM). Sedangkan istilah falsafah dan failasuf itu sendiri baru populer dan lazim dipakai pada masa Sokrates dan Plato. Dari berbagai definisi para ahli kiranya dapat dipahami bahwa ilmu filsafat ialah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, manusia, dan alam semesta, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya untuk menguasai pengetahuan itu.
              Filsafat terjadi jika orang mempertanyakan atau mengkaji suatu masalah atau mendalami hakikat sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal. Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur sesuai dengan aturan-aturan dan hukum-hukum yang ada. Seseorang baru bisa berfilsafat (bijaksana) apabila:
1.       Ia mempunyai pengertian yang mendalam mengenai arti dan nilai
2.       Ia mendasarkan pendapat dan pandangannya tidak atas pertimbangan-pertimbangan yang dangkal saja.
Objek material filsafat ialah segala sesuatu yang dipermasalahkan oleh filsafat. Al kindi membagi filsafat dalam tiga lapangan:
1.       Ilmu fisika (ilmu thibiyat) sebagai tingkatan terendah,
2.       Ilmu matematika (alilmur-riyadhi) sebagai tingkatan menengah,
3.       Ilmu ketuhanan  (ilmu-rububiyyah) sebagai tingkatan tertinggi.
             Dari uraian para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa “objek material” dari filsafat itu adalah segala sesuatu (realita). Sedangkan “hal ada” itu diklasifikasikan atas dua golongan, yaitu sebagai berikut.
1.       Ada yang harus ada, yang disebut ada yang absolut (mutlak) yaitu Tuhan, pencipta alam semesta.
2.       Ada yang tidak harus ada, yang disebut ada yang tidak mutlak, ada yang relatif (nisbi)
           Adapun objek formal filsafat, dikatakan bersifat nonfragmentaris, karena filsafat mencari pengertian realita secara luas dan mendalam.
Melalui pemikiran filsafat manusia dimungkinkan dapat melihat kebenaran tentang sesuatu diantara kebenaran-kebenaran yang lain. Disamping itu filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif dan penelitian penalaran supaya kita dapat menyerasikan antara logika, rasio, pengalaman, dan agama di dalam usaha manusia mencapai pencurahan kebutuhannya.
           Secara prinsip islam menempatkan filsafat dan ilmu pengetahuan di tempat yang layak dan tinggi. Bahkan banyak ayat-ayat al-quran secara tegas memberi dorongan bagi pemikiran-pemikiran filosofis. Seperti pada surat albaqarah:269.

 
C.      Agama
           Selain kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa arab, dan kata religi dari bahasa Eropa. Dalam kamus bahasa indonesia, agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya yang suci: manusia itu insyaf, bahwa ada suatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada.  Menurut H. Moenawar Chalil: “kata dir itu masdan dari kata kerja dana yadinu, yang mempunyai arti, cara atau adat kebiasaan, peraturan, UU, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama.” Dan menurut Prof. Dr. M. Driyarkara S.J.: “bahwa istilah agama kami ganti dengan religi, karena kata religi lebih luas, jadi juga mengenai gejala-gejala dalam lingkungan hidup, dan prinsip.
                  Pada umumnya agama diklasifikasikan menjadi dua kelompok.
1.       Agama wahyu, adalah agama yang diturunkan allah dari langit melalui malaikat Jibril kepada para nabi dan rasul Allah untuk disampaikan kepada umatnya. Yang termasuk dalam kelompok agama wahyu, adalah sebagai berikut.
a.       Agama islam, dengan kitab sucinya al-quran
b.      Agama kristen (nasrani), dengan kitab sucinya injil
c.       Agama yahudi, dengan kitab sucinya taurat
2.       Agama nonwahyu, adalah agama yang lahir berdasarkan pemikiran atau kebudayaan manusia. Yang termasuk dalam kelompok agama nonwahyu: Hinduisme, Jainisme, Sikhisme, Zoroasterianisme, Konfusionisme, Thaoisme Shinthoisme, Budhisme.
    Ciri-ciri agama pada umumnya adalah sebagai berikut.
a.       Agama adalah suatu sistem tauhid atau sistem keimanan terhadap eksistensi suatu yang absolut (mutlak)
b.      Agama merupakan satu sistem ritual atau peribadatan dari manusia kepada sesuatu yang absolut.
c.       Agama adalah suatu sistem nilai atau norma yang menjadi pola hubungan manusiawi antara sesama manusia, dan pola hubungan dengan hubungan dengan ciptaan lainnya dari yang absolut.
     Ciri-ciri agama wahyu, yaitu sebagai berikut.
a.       Mengakui eksistensi allah dengan kebenaran yang mutlak dari allah.
b.      Diturunkan dari langit dengan perantaraan malaikat jibril kepada rasul-rasul allah.
c.       Penyampaian wahyu allah itu kepada para nabi dengan ditentukan waktu kelahirannya.
d.      Memiliki kitab suci yang diwariskan Rasul Allah dengan isinya yang tetap yang dikodifikasikan dalam taurat, Injil dan Al-qur’an.
e.      Konsep keruhanannya serba Esa-Tuhan yang murni.
f.        Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama itu dapat bertahan kepada kritik akal manusia, mengenai eksistensi dan kebenaran alam gaib akal dapat menerimanya.
g.       Ajarannya tidak berubah sepanjang zaman
Ciri-ciri agama nonwahyu, yaitu sebagai berikut.
a.       Tidak mengakui eksistensi wahyu Allah sebagai kebenaran yang mutlak.
b.      Tidak di turunkan dari langit, berarti tidak mengenal malaikat.
c.       Tidak disampaikan oleh Rasul Allah.
d.      Tidak memiliki kitab suci yang diwariskan oleh nabi.
e.      Konsep ketuhanannya bukan serba esa Tuhan.
f.        Kebenaran prinsip ajaran agama tidak bertahan terhadap kritik akal manusia.
g.       Terjadi perubahan mental dan sosial dari masyarakat penganutnya.


D.     Persamaan dan Perbedaan  Ilmu, Filsafat, dan Agama
Persamaan ketiga unsur tersebut.
·         Ketiganya merupakan sumber atau wadah kebenaran (objektivitas) atau bentuk pengetahuan.
·         Dalam pencarian kebenaran  (objektivitas) itu, ketiga bentuk pengetahuan itu masing-masing mempunyai metode, sistem dan mengolah objeknya selengkapnyasampai habis-habisan.
·         Ilmu pengetahuan bertujuan mencari kebenaran tentang mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam) dan eksistensi Tuhan/Allah. Agama bertujuan untuk kebahagiaan manusia dunia akhirat dengan menunjukan kebenaran asasi dan mutlak itu, baik mengenai mikrokosmos, makrokosmos maupun Tuhan/Allah itu sendiri.
Perbedaan ketiga unsur tersebut.
·         Sumber kebenaran pengetahuan dan filsafat adalah sama, keduanya dari manusia itu sendiri, dalam arti pikiran, pengalaman, dan intuisinya.
·         Pendekatan kebenaran ilmu pengetahuan dengan jalan riset, pengalaman, dan percobaan sebagai tolak ukurnya.
·         Sifat kebenaran ilmu pengetahuan adalah positif dan nisbi.
·         Tujuan ilmu pengetahuan itu hanyalah bersifat teoritis, demi ilmu pengetahuan dan umumnya pengalamannya untuk tujuan ekonomi praktis atau kenikmatan jasmani manusia.

BAB 4. Sumber-Sumber Ajaran Islam
            Pada dasarnya yang menjadi sumber norma dan hukum islam ialah Kitab Suci Al-qur’anbdan Sunah/Hadis Rasulullah saw. Keduanya merupakan sumber pokok atau sumber utama (psychologis). Akan tetapi jika dirinci, sebetulnya selain dua sumber tersebut, masih terdapat sumber lain yang berkedudukan sebagai sumber pelengkap atau tambahan atau penjelasan (sosiologis), yang disebut ijtihad.
A.      Al-qur’an
             Orang-orang Arab menamakan himpunan hasil karya tulis mereka yang berupa khotbah atau syair dengan “diwan”. Berbeda dari semua itu Allah swt., menamakan himpunan firman-firman-Nya dengan Al-qur’an, sebagian dari isi Al-qur’an Allah menamakan “surat”, dan sebagian dari isi surat disebut “ayat”. Jadi Al-qur’an adalah nama yang khas, yang sengaja diberikan oleh allah kepada kitab suci-Nya, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Arab dengan menamakan hasil karya tulis mereka. Ada beberapa ulama yang mengartikan Al-qur’an menurut bahasa antara lain adalah sebagai berikut:
1.       Al-Farra, Al-qur’an artinya adalah membenarkan, karena Al-qur’an termabil dari kata “qarain”, jamak dar “qarinah”.
2.       Al-Asy’ari, Al-qur’an artinya ialah menggabungkan sesuatu dengan yang lain, karena Al-qur’an terambil dari kata “qarana”.
3.       Az-Zajjaj, Al-qur’an artinya adalah mengumpulkan, karena Al-qur’an berasal dari kata “Qar’i”.

Al-qur’an menurut arti istilah (terminologi) juga mempunyai beberapa definisi.
1.       Al-qur’an adalah firman Allahyang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasulterakhir dengan perantaraan malaikat Jibril.
2.       Al-qur’an adalah lafal berbahasa Arab yang dirunkan kepada Nabi Muhammad saw
Dari dua buah definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa apa yang disebut Al-qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria antara lain adalah.
1.       Al-qur’an adalah firman Allah swt.
2.       Al-qur’an yang merupakan firman Allah itu berbahasa Arab.
3.       Al-qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
4.       Al-qur’an sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.
5.        Adalah mukjizat.
6.       Al-qur’an ditulis di dalam mushaf.
7.       Al-qur’an diperintahkan untuk dibaca karena membaca Al-qur’an merupakan ibadah.
8.       Al-qur’an diawali oleh surat Alfatihah dan diakhiri dengan surat An-nas

B.      Hadis/Sunah
            Para muhadditsin berbeda-beda pendapatnya dalam mentafsirkan Alhadis. Perbedaan tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari sifat perbedaan peninjauan mereka itu melahirkan dua macam pengertian tentang Alhadis, yaitu pengertian secara terbatas dan pengertian secara luas.
           Pengertian hadis secara terbatas yaitu sebagai mana dikemukakan oleh Jumhurul Muhadditsin. Pengertian hadis secara luas ialah sesuatu yang disandarkan baik kepada Nabi Muhammad saw., atau sahabat atau tabi’n, baik berupa perkataan , perbuatan, pernyataan maupun sifat dan keadaannya.
           Untuk menerima hadis dari Nabi Muhammad saw., unsur seperti pemberita, materi berita dan sandaran berita, satupun tidak dapat ditinggalkan. Para Muhadditsin menciptakan istilah-istilah untuk unsur-unsur itu dengan nama rawy, matan, dan sanad. Hadis/sunah Nabi saw., menempati kedudukan nomer dua setelah al-qur’an, sebagai sumber norma dan hukum serta ajaran agama islam. Al-qur’an menjadi sumber hukum yang pertama dan Alhadis menjadi asas perundang-undangan setelah Al-qur’an. Adapun Alhadis terhadap Al-qur’an adalah sebagai berikut.
a.       Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-qur’an, maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum.
b.      Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-qur’an yang masih mujmal.
c.       Menetapkan hukum atau aturan-aturanyang tidak didapati dalam Al-qur’an.
Macam-macam Hadis/Sunah
ü  Dilihat dari segi bentuk
a.       Qauliyah, yaitu hadis yang berupa/berbentuk ucapan/perkataan nabi.
b.      Fi’liyah, yaitu hadis yang berbentuk perbuatan nabi.
c.       Taqririyah, yaitu hadis yang berbentuk/berupa keputusan.
ü  Dilihat dari segi jumlah orang yang menyampaikan atau meriwayatkannya
a.       Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya yang karena banyaknya ini, menurut akal, tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta.
b.      Masyhur, yaitu hadis yang perawi lapis pertamanya beberapa orang sahabat atau lapis keduanya bebrapa orang tabi’in, setelah itu tersebar luas dinukilkan orang banyak yang tak dapat disangka mereka bersepakat untuk dusta.
c.       Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seseorang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke tingkat masyhur.
ü  Dilihat dari segi kualitasnya
a.       Shahih
b.      Hasan
c.       Dha’if
d.      Maudhu
ü  Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya
a.       Hadis Maqbul
b.      Hadis Mardud
ü  Dilihat dari segi siapa yang berperan dalam berbuat atau bersabda dalam hadis
a.       Marfu’ yaitu disandarkan kepada nabi saw.
b.      Mauquf yaitu di sandarkan kepada sahabat.
c.       Maqthu’ yaitu disandarkan kepada tabi’in.
C.      Ijtihad
          Usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para ulama untuk menetapkan hukum islam di kenal dengan sebutan “Ijtihad”, sedangkan para ulama yang melakukan nya disebut “Mujtahid”. Dari segi bahasa, arti Ijtihad adalah “ mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan”. Sedangkan menurut istilah , yang disebut ijtihad adalah “mengerahkan segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum-hukum syariah”.
1.       Hukum Ijtihad
a.       Wajib ‘ain
b.      Wajib kifayah
c.       Sunnat
2.       Syarat-Syarat Ijtihad
·         Mengetahui Al-qur’an dan Alhadis
·         Mengetahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan Ijma
·         Mengetahui serta memahami bahsa Arab.
·         Mengetahui ilmu ushul fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok Ijtihad.
·         Mengetahui ilmu nasikh dan mansukh
3.       Kebenaran Hasil Ijtihad
         Segolongan ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam hasil ijtihadnya. Menurut Abu Hanifah, Imam Malik, dan Syafi’i, menyatakan bahwa tidak semua mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya, tetapi ada yang mencapai kebenaran dan ada yang tidak.

4.       Bentuk-Bentuk Ijtihad
a.       Ijma’
b.      Qiyas
c.       Istihsan
d.      Mashlahah Mursalah
e.      Saddudz-Dzari’ah

Senin, 29 Oktober 2012

PAI - khutbah 'Id Al-Adha


Nama               : Romadhoi Feby Indriani
NPM               : 121000097
Kelas               : B
Nama ustad      : H. Burhan Nudin S.Pd.I

Perlunya Kita Mengetahui Hari Kemenangan ‘Id Al-Adha

Setiap orang yang beriman senantiasa mendambakan rahmat, maghfirah, dan ridha Allah SWT. Seluruh aktivitasnya – duniawiyah dan ukhrawiyah – ia maksudkan untuk memperoleh rahmat dan ridha Allah SWT.Bagi orang beriman tidak ada perbedaan antara aktivitas duniawiyah dan aktivitas ukhrawiyah. Sebab, keduanya dilakukan dengan niat untuk mencari ridha Allah. Ridha artinya senang. Kedua aktivitas itu dilakukan sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Bila kedua aktivitas tersebut sudah diridhai Allah maka tentu rahmat dan maghfirah-Nya pun akan dicurahkan Allah kepadanya. Demi memperoleh rahmat, maghfirah, dan ridha Allah, seorang yang beriman akan melakukan apa saja yang mungkin ia lakukan dan memberikan apa saja yang mungkin ia berikan; dan mengorbankan apa saja yang mungkin ia korbankan.Kesadaran dan keinsyafan untuk berkurban karena Allah inilah yang merupakan makna hakiki dari “Id al-Adha. Makna ini akan dirasakan kemanfaatannya apabila diwujudkan ke dalam kehidupan realitas kita melalui makna instrumental-nya.

Makna Hakiki ‘Id al-Adha. Secara harfiah ‘Id al-Adha artinya adalah Hari Raya Kurban. Dinamai demikian karena dimaksudkan untuk mengingat pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. dan keluarganya untuk dicontoh, diteladani, dan diwujudkan nilai-nilainya oleh orang-orang yang beriman.Dalam kesederhanaan, nilai (ajaran) kurban ini tergambar di dalam penyembelihan hewan kurban itu sendiri; (1) niatnya karena Allah , (2) yang sampai kepada Allah bukan darah atau daging kurban tetapi keimanan dan ketakwaan orang berkurban,(3) daging kurban itu sendiri didistribusikan secara adil dan merata terutama kepada mereka yang benar-benar membutuhkan sebagai kepedulian kepada lingkungan dan upaya meningkatkan kebersamaan solidaritas sosial, (4) pendistribusian secara adil dan merata, dilakukan sebagai pengamalan perintah syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah.(5) dan pahala pertama, untuk orang yang berkurban itu sendiri dan kedua, untuk semua pihak yang mendukung dan menciptakan suasana yang kondusif hingga terselenggaranya aktivitas pengorbanan karena Allah.Demikian juga bagi mereka yang sedang melaksanakan haji, jika mereka diwajibkan menyembelih (unta, kambing, biri-biri, dan sapi), hendaklah disembelih di tanah haram dan dagingnya di hadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadah haji.

Dengan demikian ada lima ciri yang terdapat di dalam aktivitas pengorbanan karena Allah. Kelima cirri tersebut berkaitan dengan (1) niatnya, (2) orientasinya, (3) kemanfaatannya, (4) caranya dan (5) tujuannya.
1. Niatnya
Aktivitas pengorbanan yang disyari’atkan oleh Islam adalah aktivitas pengorbanan yang diniatkan karena Allah. Dalam konteks ini, al-Ghazali mengemukakan dalam Ihya bahwa seseorang tidak sampai kepada Allah (tidak akan dapat mencapai posisi kurban atau dekat dengan Allah; amal ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah) kecuali apabila orang itu :
a. Sanggup membebaskan diri dari pengaruh hawa nafsu.
b. Mampu mengendalikan diri sehingga ia tidak terjerumus ke dalam dan perilaku hidup hedonistic.
c. Di dalam ia melakukan sesuatu perbuatan, ia hanya melakukan perbuatan yang benar-benar perlu dan diperlukan; ia bertindak efisien, disiplin, istiqamah, dan selalu peduli terhadap lingkungan dalam rangka memupuk kesadaran dan solidaritas.
d. Seluruh aktivitasnya, gerak maupun diamnya , seluruhnya ia niatkan karena Allah.

Esensi niat karena Allah adalah memurnikan ketaatan dan kepatuhan hanya kepada Allah sebagai wujud dari keimanan dan kesadaran selaku makhluk hamba Allah, dan khalifah Allah di muka bumi. Allah berfirman:
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء… (البينة\98 :5)

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus. Niat karena Allah mempunyai fungsi antara lain: (1) menumbuhkan kesadaran tentang keberadaan (existensi) Allah , (2) menginsyafkan bahwa ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, dan ketundukan hanya pantas diberikan kepada Allah, (3) menanamkan kesadaran bahwa Allah tidak membeda-bedakan manusia, tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, majikan atau buruh, pejabat atau bukan, semuanya dituntut untuk mentaati hukum; yaitu mengedepankan supremasi hukum; untuk melaksanakan kewajiban, ketentuan, dan peraturan, seluruh manusia sama di hadapan Allah; iman dan takwalah yang membuat seseorang dekat dan mulia di sisi Allah. (4) menjadikan Allah sebagai motivasi dan tujuan hidup dan (5) menghilangkan semua penyakit hati, seperti Syirik, kufur, munafik, takabbur, riya, ‘ujub,, dan lain sebagainya.

Orang yang memiliki niat yang mempunyai keimanan dan kesadaran seperti ini, akan dapat melakukan apa saja yang diperintahkan Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, dan keluarganya pada saat Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah untuk mengorbankan putranya Ismail as. Padahal Nabi Ibrahim puluhan tahun mendambakan anak, begitu Allah memberikan anak dan ketika anak telah sampai usia tamyiz, bisa mambantu dan berusaha bersama ayahnya Ibrahim datanglah perintah Allah untuk mengorbankannya. Apa yang menyebabkan Nabi Ibrahim siap untuk mengorbankan anaknya ?
a. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putranya tidak dapat menghalangi kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah.
b.Ismail sendiri bahkan bersedia mengorbankan jiwa dan raganya karena patuh dan taat kepada Allah .
يآأبت افعل ما تؤمر ستجدنى إن شاء الله من الصابرين. (الصافات\37:102)
“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.
a. Siti Hajar ra, sekalipun air matanya nampak menitik pertanda bahwa ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, tetapi secara pasti ia berkata: “aku rela kalau itu memang perintah Allah”.
b. Setelah merasa pasti bahwa itu adalah keputusan dan ketetapan Allah, dalam kepastiannya sebagai pemimpin, sebagai orang kaya, bahkan sebagai orang yang bergelar Khalilullah, sebagai orang yang mempunyai kedekatan dengan Sumber Hukum dan Sumber Kebijakan. Tidak sedikitpun terbetik di hati Ibrahim dan keluarganya agar mereka diperlakukan secara berbeda di dalam melaksanakan peraturan dan ketentuan. Karena Nabi Ibrahim dan keluarganya sadar bahwa di hadapan Hukum Allah semua manusia sama; harus taat kepada perintah, taat kepada keputusan hukum, taat kepada peraturan dan ketentuan.

Kepatuhan dan ketaatan yang dijiwai oleh semangat pengorbanan karena Allah ini, divisualisasikan (diragakan) secara simbolik dengan penuh keimanan dan keinsyafan oleh mereka yang melaksanakan ibadah haji, dan mereka yang melakukan ibadah kurban. Aktivitas orang yang melakukan ibadah haji seluruhnya mencerminkan kepatuhan dan ketaatan ini. Bahkan untuk mencontoh Rasulullah – mencium hajar aswad (batu hitam) sekalipun mereka ikhlas dan rela melakukannya karena patuh dan taat kepada Allah . Hal ini, sejalan dengan apa yang mereka nyatakan di dalam talbiyah , Labbaik Allahumma Labbaik (Ya, Allah ini aku datang memenuhi panggilan-Mu; siap untuk melaksanakan apapun yang Engkau perintahkan, siap meninggalkan apapun yang Engkau larang ! Di dalam kehidupan pasca ibadah haji , kesiapan inilah yang menjadi salah satu indikasi penting bagi seseorang apakah hajinya mabrur atau tidak !

Orientasi pengorbanan karena Allah diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan :
فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير. (الحج\ 22 : 28)
Maka makanlah sebagian dari padanya dan sebagian lagi berikanlah untuk makan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Ayat di atas Allah menyatakan bahwa daging kurban boleh dinikmati oleh orang yang berkurban yang merupakan nikmat dan anugrah Allah, tetapi sebagian yang lain; didistribusikan secara adil dan merata terutama kepada mereka yang benar-benar membutuhkan sebagai bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan.

Kemanfaatannya dirasakan oleh semua pihak:
a. Pihak yang berkurban, kualitas keimanan, dan ketakwaannya bertambah; posisinya semakin dekat kepada Allah.
b. Nikmat dan karunia Allah tidak hanya oleh orang-orang tertentu saja melainkan juga oleh orang-orang yang berada di lingkungannya, terutama oleh mereka yang berada pada posisi mustad’afin .
c. Penyakit-penyakit sosial, seperti sikap apatis, individualistik, egoistic, dan kazaliman-kezaliman lainnya diharapkan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses interaksi dalam kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat pengorbanan karena Allah, sehingga apa yang disebut dengan kesenjangan sosial akibat ketidak adilan yang dapat menimbulkan antara lain sikap dan perilaku kriminalitas serta anarkis dan kejahatan-kejahatan ekonomi dan sosial lainnya dapat dihindarkan.

Cara berkurban karena Allah, seperti yang ditunjukkan oleh Allah sendiri, yaitu bukan dengan cara membinasakan manusia, tetapi justru dengan menyelamatkan manusia dan kemanusiaan; dengan jalan mensyukuri nikmat dan karunia Allah, dalam rangka mengoptimalisasikan kemanfaatan nikmat dan karunia Allah yang telah diberikan oleh Allah dan menebarkannya secara adil dan merata. Perintah penyembelihan terhadap Ismail semata-mata dimaksudkan hanya sebagi ujian, sebagai tuntutan pembuktian atas tekad kesetiaan yang pernah dinyatakan oleh Ibrahim as sendiri. Di samping sebagai Nabi, Ibrahim adalah seorang kaya yang sangat dermawan. Ia banyak mengorbankan harta kekayaannya untuk kepentingan sosial. Suatu waktu ia diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih sejumlah kambing dan sejumlah unta sebagai kurban dan santunan bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Pujianpun banyak berdatangan tertuju kepadanya. Waktu itu, ia belum dikarunia anak. Pada waktu itulah ia berkata; bahwa anak sendiripun akan dikorbankan apabila hal itu, diperintahkan oleh Allah. Maka tatkala anak itu benar-benar telah lahir, bahkan telah dapat membantu pekerjaannya dan tentu merupakan anak yang sangat didambakan dan dicintai oleh Ibrahim as dan isterinya Siti Hajar. Dan datanglah tuntutan Allah agar Ibarahim membuktikan tekad dan kesetiaannya kepada Allah.

Setelah Ibrahim as yakin bahwa mimpi itu, benar-benar perintah Allah, iapun berbulat hati untuk melaksanakannya. Ayah dan anak tunduk pada kehendak Allah, tetapi Allah yang kemudian menghentikannya. Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibarahim dan Ismail as maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan kurban, Allah menggantikannya dengan seekor kambing yang besar yang dagingnya diperintahkan untuk didistribusikan secara adil dan merata terutama kepada mereka yang membutuhkannya. فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير peristiwa ini menjadi dasar syariat Kurban yang dilakukan setiap tahun dalam rangkaian Hari Raya dan Ibadah Haji.
Tujuan berkurban adalah taqarrub kepada Allah, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada-Nya untuk memperoleh rahmat, maghfirah, dan ridha-Nya. Upaya mendekatkan diri kepada Allah تقرب إلى الله adalah proses yang terus menerus bergerak tanpa henti. Karena taqarrub إلى الله merupakan proses terus menerus tanpa henti; maka di dalamnya pasti terdapat dinamika, terdapat aktivitas, kreativitas, produktivitas, dan inovasi-inovasi, yang kesemuanya berjalan sesuai dengan aturan dan ketentuan Allah; berjalan secara efisien, efektif, disiplin, istiqamah, dan manfaat bagi lingkungannya.

Ada 3 hal yang terus menerus bergerak dalam proses taqarrub إلى الله terus menerus bergerak tiada henti berzikir kepada Allah, ia bahkan melakukan تخلق بأخلاق الله ; proses internalisasi,; melakukan penyontohan dan peneladanan terhadap sifat dan akhlak Allah, sehingga akal sebagai top exekutif (presiden) di dalam wilayah kekuasaan jasmani dan ruhani dapat mengintruksikan kepada pancaindra dan anggota badan dengan instruksi-instruksi yang telah terilhami, yaitu akibat hatinya yang terus menerus berzikir dan takhalluq bi akhlaqillah . Maka yang keluar dari anggota badannya – yaitu sebagai tahaqquq atau realisasi dari zikir dan pikir serta proses peneladanan terhadap sifat dam akhlak Allah tadi – tiada lain adalah aktivitas-aktivitas, produktivitas, dan inovasi-inovasi yang positif konstruktif dan berguna yang berwujud kegiatan-kegiatan yang di dalam bahasa agama disebut amaliyah shalihah yang pada gilirannya akan membentuk budaya dan kebudayaan yang saleh pula.

Kedudukan dan Martabat. Harkat, martabat, dan kedudukan orang yang takarrub kepada Allah juga terus menerus bergerak menuju kemuliaan dan kesempurnaan. Yaitu seiring dengan amaliyah –amaliyah salihah yang ia lakukan dan prestasi-prestasi mubarakah yang ia raih. Keadaan Masyarakat dan Lingkungan Keadaan masyarakat dan lingkungan orang yang takarrub kepada Allah juga terus menerus bergerak menuju kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai oleh Allah SWT . Sebab dari diri orang yang takarrub kepada Allah akan memancar cahaya, yaitu cahaya dalam bentuk amaliyah-amaliyah salihah tadi, yang dapat menghilangkan kepekatan-kepekatan sosial dan kesemerawutan tatanan kehidupan dan lingkungan, sehingga apa yang disebut di dalam Al-Qur’an dengan baldatun tayyibatun wa rabbun gafur dapat terwujud menjadi kenyataan.

Makna Instrumen tal ‘Id al-Adha/ Ibadah Kurban. Nilai-nilai, semangat, dan sejarah berkurban seperti yang telah kita sebutkan hanya akan menjadi “laksana mutiara dalam lumpur” manakala kita tidak dapat mewujudkannya ke dalam kenyataan hidup dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, sesuai dengan maksud dan tujuannya, seyogyanya ibadah kurban yang disyari’atkan oleh Allah ini, kita jadikan sebagai sarana pendidikan; kita jadikan sebagai instrumen atau alat untuk mewujudkan nilai-nilai intrinsiknya (harkat yang terkandung di dalamnya ) diaplikasikan dalam kenyataan kehidupan kita sehari-hari, sehingga sesuai dengan sifatnya dan kemanfaatannya dapat dirasakan secara bersama-sama, terutama oleh masyarakat dan lingkungan di mana kita berada.