Nama : Romadhoi Feby
Indriani
NPM : 121000097
Kelas : B
Nama ustad : H. Burhan Nudin
S.Pd.I
Perlunya Kita Mengetahui Hari Kemenangan ‘Id
Al-Adha
Setiap orang yang beriman senantiasa
mendambakan rahmat, maghfirah, dan ridha Allah SWT. Seluruh aktivitasnya –
duniawiyah dan ukhrawiyah – ia maksudkan untuk memperoleh rahmat dan ridha
Allah SWT.Bagi orang beriman tidak ada perbedaan antara aktivitas duniawiyah
dan aktivitas ukhrawiyah. Sebab, keduanya dilakukan dengan niat untuk mencari
ridha Allah. Ridha artinya senang. Kedua aktivitas itu dilakukan sesuai dengan
tuntunan dan petunjuk Allah. Bila kedua aktivitas tersebut sudah diridhai Allah
maka tentu rahmat dan maghfirah-Nya pun akan dicurahkan Allah kepadanya. Demi
memperoleh rahmat, maghfirah, dan ridha Allah, seorang yang beriman akan
melakukan apa saja yang mungkin ia lakukan dan memberikan apa saja yang mungkin
ia berikan; dan mengorbankan apa saja yang mungkin ia korbankan.Kesadaran
dan keinsyafan untuk berkurban karena Allah inilah yang merupakan makna hakiki
dari “Id al-Adha. Makna ini akan dirasakan kemanfaatannya apabila diwujudkan ke
dalam kehidupan realitas kita melalui makna instrumental-nya.
Makna Hakiki ‘Id al-Adha. Secara harfiah
‘Id al-Adha artinya adalah Hari Raya Kurban. Dinamai demikian karena
dimaksudkan untuk mengingat pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as.
dan keluarganya untuk dicontoh, diteladani, dan diwujudkan nilai-nilainya oleh
orang-orang yang beriman.Dalam kesederhanaan, nilai (ajaran) kurban ini
tergambar di dalam penyembelihan hewan kurban itu sendiri; (1) niatnya karena
Allah , (2) yang sampai kepada Allah bukan darah atau daging kurban tetapi
keimanan dan ketakwaan orang berkurban,(3) daging kurban itu sendiri
didistribusikan secara adil dan merata terutama kepada mereka yang benar-benar
membutuhkan sebagai kepedulian kepada lingkungan dan upaya meningkatkan
kebersamaan solidaritas sosial, (4) pendistribusian secara adil dan merata,
dilakukan sebagai pengamalan perintah syukur atas nikmat dan karunia yang
diberikan oleh Allah.(5) dan pahala pertama, untuk orang yang berkurban itu
sendiri dan kedua, untuk semua pihak yang mendukung dan menciptakan suasana
yang kondusif hingga terselenggaranya aktivitas pengorbanan karena
Allah.Demikian juga bagi mereka yang sedang melaksanakan haji, jika mereka
diwajibkan menyembelih (unta, kambing, biri-biri, dan sapi), hendaklah
disembelih di tanah haram dan dagingnya di hadiahkan kepada fakir miskin dalam
rangka ibadah haji.
Dengan demikian ada lima ciri yang
terdapat di dalam aktivitas pengorbanan karena Allah. Kelima cirri tersebut
berkaitan dengan (1) niatnya, (2) orientasinya, (3) kemanfaatannya, (4) caranya
dan (5) tujuannya.
1. Niatnya
1. Niatnya
Aktivitas pengorbanan yang disyari’atkan oleh Islam adalah aktivitas
pengorbanan yang diniatkan karena Allah. Dalam konteks ini, al-Ghazali
mengemukakan dalam Ihya bahwa seseorang tidak sampai kepada Allah (tidak akan
dapat mencapai posisi kurban atau dekat dengan Allah; amal ibadahnya tidak akan
diterima oleh Allah) kecuali apabila orang itu :
a. Sanggup membebaskan diri dari pengaruh hawa nafsu.
b. Mampu mengendalikan diri sehingga ia tidak terjerumus ke dalam dan perilaku hidup hedonistic.
c. Di dalam ia melakukan sesuatu perbuatan, ia hanya melakukan perbuatan yang benar-benar perlu dan diperlukan; ia bertindak efisien, disiplin, istiqamah, dan selalu peduli terhadap lingkungan dalam rangka memupuk kesadaran dan solidaritas.
d. Seluruh aktivitasnya, gerak maupun diamnya , seluruhnya ia niatkan karena Allah.
a. Sanggup membebaskan diri dari pengaruh hawa nafsu.
b. Mampu mengendalikan diri sehingga ia tidak terjerumus ke dalam dan perilaku hidup hedonistic.
c. Di dalam ia melakukan sesuatu perbuatan, ia hanya melakukan perbuatan yang benar-benar perlu dan diperlukan; ia bertindak efisien, disiplin, istiqamah, dan selalu peduli terhadap lingkungan dalam rangka memupuk kesadaran dan solidaritas.
d. Seluruh aktivitasnya, gerak maupun diamnya , seluruhnya ia niatkan karena Allah.
Esensi niat karena Allah adalah memurnikan ketaatan dan kepatuhan hanya kepada Allah sebagai wujud dari keimanan dan kesadaran selaku makhluk hamba Allah, dan khalifah Allah di muka bumi. Allah berfirman:
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء… (البينة\98 :5)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus. Niat
karena Allah mempunyai fungsi antara lain: (1) menumbuhkan kesadaran tentang
keberadaan (existensi) Allah , (2) menginsyafkan bahwa ketaatan, kepatuhan,
kepasrahan, dan ketundukan hanya pantas diberikan kepada Allah, (3) menanamkan
kesadaran bahwa Allah tidak membeda-bedakan manusia, tidak ada perbedaan antara
kaya dan miskin, majikan atau buruh, pejabat atau bukan, semuanya dituntut
untuk mentaati hukum; yaitu mengedepankan supremasi hukum; untuk melaksanakan
kewajiban, ketentuan, dan peraturan, seluruh manusia sama di hadapan Allah;
iman dan takwalah yang membuat seseorang dekat dan mulia di sisi Allah. (4)
menjadikan Allah sebagai motivasi dan tujuan hidup dan (5) menghilangkan semua
penyakit hati, seperti Syirik, kufur, munafik, takabbur, riya, ‘ujub,, dan lain
sebagainya.
Orang yang memiliki niat yang mempunyai
keimanan dan kesadaran seperti ini, akan dapat melakukan apa saja yang
diperintahkan Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, dan
keluarganya pada saat Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah untuk
mengorbankan putranya Ismail as. Padahal Nabi Ibrahim puluhan tahun mendambakan
anak, begitu Allah memberikan anak dan ketika anak telah sampai usia tamyiz,
bisa mambantu dan berusaha bersama ayahnya Ibrahim datanglah perintah Allah
untuk mengorbankannya. Apa yang menyebabkan Nabi Ibrahim siap untuk
mengorbankan anaknya ?
a. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putranya tidak dapat menghalangi kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah.
b.Ismail sendiri bahkan bersedia mengorbankan jiwa dan raganya karena patuh dan taat kepada Allah .
a. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putranya tidak dapat menghalangi kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah.
b.Ismail sendiri bahkan bersedia mengorbankan jiwa dan raganya karena patuh dan taat kepada Allah .
يآأبت افعل ما تؤمر ستجدنى إن شاء الله من الصابرين. (الصافات\37:102)
“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.
a. Siti Hajar ra, sekalipun air matanya nampak menitik pertanda bahwa ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, tetapi secara pasti ia berkata: “aku rela kalau itu memang perintah Allah”.
b. Setelah merasa pasti bahwa itu adalah keputusan dan ketetapan Allah, dalam kepastiannya sebagai pemimpin, sebagai orang kaya, bahkan sebagai orang yang bergelar Khalilullah, sebagai orang yang mempunyai kedekatan dengan Sumber Hukum dan Sumber Kebijakan. Tidak sedikitpun terbetik di hati Ibrahim dan keluarganya agar mereka diperlakukan secara berbeda di dalam melaksanakan peraturan dan ketentuan. Karena Nabi Ibrahim dan keluarganya sadar bahwa di hadapan Hukum Allah semua manusia sama; harus taat kepada perintah, taat kepada keputusan hukum, taat kepada peraturan dan ketentuan.
a. Siti Hajar ra, sekalipun air matanya nampak menitik pertanda bahwa ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, tetapi secara pasti ia berkata: “aku rela kalau itu memang perintah Allah”.
b. Setelah merasa pasti bahwa itu adalah keputusan dan ketetapan Allah, dalam kepastiannya sebagai pemimpin, sebagai orang kaya, bahkan sebagai orang yang bergelar Khalilullah, sebagai orang yang mempunyai kedekatan dengan Sumber Hukum dan Sumber Kebijakan. Tidak sedikitpun terbetik di hati Ibrahim dan keluarganya agar mereka diperlakukan secara berbeda di dalam melaksanakan peraturan dan ketentuan. Karena Nabi Ibrahim dan keluarganya sadar bahwa di hadapan Hukum Allah semua manusia sama; harus taat kepada perintah, taat kepada keputusan hukum, taat kepada peraturan dan ketentuan.
Kepatuhan dan ketaatan yang dijiwai oleh
semangat pengorbanan karena Allah ini, divisualisasikan (diragakan) secara
simbolik dengan penuh keimanan dan keinsyafan oleh mereka yang melaksanakan
ibadah haji, dan mereka yang melakukan ibadah kurban. Aktivitas orang yang
melakukan ibadah haji seluruhnya mencerminkan kepatuhan dan ketaatan ini.
Bahkan untuk mencontoh Rasulullah – mencium hajar aswad (batu hitam) sekalipun
mereka ikhlas dan rela melakukannya karena patuh dan taat kepada Allah . Hal
ini, sejalan dengan apa yang mereka nyatakan di dalam talbiyah , Labbaik
Allahumma Labbaik (Ya, Allah ini aku datang memenuhi panggilan-Mu; siap untuk
melaksanakan apapun yang Engkau perintahkan, siap meninggalkan apapun yang
Engkau larang ! Di dalam kehidupan pasca ibadah haji , kesiapan inilah yang
menjadi salah satu indikasi penting bagi seseorang apakah hajinya mabrur atau
tidak !
Orientasi pengorbanan karena Allah
diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan :
فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير. (الحج\ 22 : 28)
Maka makanlah sebagian dari padanya dan sebagian lagi berikanlah untuk
makan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Ayat di atas Allah menyatakan bahwa daging kurban boleh
dinikmati oleh orang yang berkurban yang merupakan nikmat dan anugrah Allah,
tetapi sebagian yang lain; didistribusikan secara adil dan merata terutama
kepada mereka yang benar-benar membutuhkan sebagai bentuk kepedulian sosial dan
perhatian terhadap lingkungan.
Kemanfaatannya dirasakan oleh semua pihak:
a. Pihak yang berkurban, kualitas keimanan, dan ketakwaannya bertambah; posisinya semakin dekat kepada Allah.
b. Nikmat dan karunia Allah tidak hanya oleh orang-orang tertentu saja melainkan juga oleh orang-orang yang berada di lingkungannya, terutama oleh mereka yang berada pada posisi mustad’afin .
c. Penyakit-penyakit sosial, seperti sikap apatis, individualistik, egoistic, dan kazaliman-kezaliman lainnya diharapkan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses interaksi dalam kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat pengorbanan karena Allah, sehingga apa yang disebut dengan kesenjangan sosial akibat ketidak adilan yang dapat menimbulkan antara lain sikap dan perilaku kriminalitas serta anarkis dan kejahatan-kejahatan ekonomi dan sosial lainnya dapat dihindarkan.
a. Pihak yang berkurban, kualitas keimanan, dan ketakwaannya bertambah; posisinya semakin dekat kepada Allah.
b. Nikmat dan karunia Allah tidak hanya oleh orang-orang tertentu saja melainkan juga oleh orang-orang yang berada di lingkungannya, terutama oleh mereka yang berada pada posisi mustad’afin .
c. Penyakit-penyakit sosial, seperti sikap apatis, individualistik, egoistic, dan kazaliman-kezaliman lainnya diharapkan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses interaksi dalam kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat pengorbanan karena Allah, sehingga apa yang disebut dengan kesenjangan sosial akibat ketidak adilan yang dapat menimbulkan antara lain sikap dan perilaku kriminalitas serta anarkis dan kejahatan-kejahatan ekonomi dan sosial lainnya dapat dihindarkan.
Cara berkurban karena Allah, seperti yang
ditunjukkan oleh Allah sendiri, yaitu bukan dengan cara membinasakan manusia,
tetapi justru dengan menyelamatkan manusia dan kemanusiaan; dengan jalan
mensyukuri nikmat dan karunia Allah, dalam rangka mengoptimalisasikan
kemanfaatan nikmat dan karunia Allah yang telah diberikan oleh Allah dan
menebarkannya secara adil dan merata. Perintah penyembelihan terhadap Ismail
semata-mata dimaksudkan hanya sebagi ujian, sebagai tuntutan pembuktian atas
tekad kesetiaan yang pernah dinyatakan oleh Ibrahim as sendiri. Di samping
sebagai Nabi, Ibrahim adalah seorang kaya yang sangat dermawan. Ia banyak mengorbankan
harta kekayaannya untuk kepentingan sosial. Suatu waktu ia diperintahkan oleh
Allah untuk menyembelih sejumlah kambing dan sejumlah unta sebagai kurban dan
santunan bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Pujianpun banyak berdatangan
tertuju kepadanya. Waktu itu, ia belum dikarunia anak. Pada waktu itulah ia
berkata; bahwa anak sendiripun akan dikorbankan apabila hal itu, diperintahkan
oleh Allah. Maka tatkala anak itu benar-benar telah lahir, bahkan telah dapat
membantu pekerjaannya dan tentu merupakan anak yang sangat didambakan dan
dicintai oleh Ibrahim as dan isterinya Siti Hajar. Dan datanglah tuntutan Allah
agar Ibarahim membuktikan tekad dan kesetiaannya kepada Allah.
Setelah Ibrahim as yakin bahwa mimpi itu,
benar-benar perintah Allah, iapun berbulat hati untuk melaksanakannya. Ayah dan
anak tunduk pada kehendak Allah, tetapi Allah yang kemudian menghentikannya.
Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibarahim dan Ismail as maka Allah melarang
menyembelih Ismail dan untuk meneruskan kurban, Allah menggantikannya dengan
seekor kambing yang besar yang dagingnya diperintahkan untuk didistribusikan
secara adil dan merata terutama kepada mereka yang membutuhkannya. فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير peristiwa ini menjadi dasar syariat Kurban yang dilakukan
setiap tahun dalam rangkaian Hari Raya dan Ibadah Haji.
Tujuan berkurban adalah taqarrub kepada
Allah, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada-Nya untuk memperoleh
rahmat, maghfirah, dan ridha-Nya. Upaya mendekatkan diri kepada Allah تقرب إلى الله adalah
proses yang terus menerus bergerak tanpa henti. Karena taqarrub إلى الله merupakan
proses terus menerus tanpa henti; maka di dalamnya pasti terdapat dinamika,
terdapat aktivitas, kreativitas, produktivitas, dan inovasi-inovasi, yang
kesemuanya berjalan sesuai dengan aturan dan ketentuan Allah; berjalan secara
efisien, efektif, disiplin, istiqamah, dan manfaat bagi lingkungannya.
Ada 3 hal yang terus menerus bergerak
dalam proses taqarrub إلى الله terus menerus bergerak tiada henti
berzikir kepada Allah, ia bahkan melakukan تخلق
بأخلاق الله ; proses
internalisasi,; melakukan penyontohan dan peneladanan terhadap sifat dan akhlak
Allah, sehingga akal sebagai top exekutif (presiden) di dalam wilayah kekuasaan
jasmani dan ruhani dapat mengintruksikan kepada pancaindra dan anggota badan
dengan instruksi-instruksi yang telah terilhami, yaitu akibat hatinya yang
terus menerus berzikir dan takhalluq bi akhlaqillah . Maka yang keluar dari
anggota badannya – yaitu sebagai tahaqquq atau realisasi dari zikir dan pikir
serta proses peneladanan terhadap sifat dam akhlak Allah tadi – tiada lain
adalah aktivitas-aktivitas, produktivitas, dan inovasi-inovasi yang positif
konstruktif dan berguna yang berwujud kegiatan-kegiatan yang di dalam bahasa
agama disebut amaliyah shalihah yang pada gilirannya akan membentuk budaya dan
kebudayaan yang saleh pula.
Kedudukan dan Martabat. Harkat, martabat,
dan kedudukan orang yang takarrub kepada Allah juga terus menerus bergerak
menuju kemuliaan dan kesempurnaan. Yaitu seiring dengan amaliyah –amaliyah
salihah yang ia lakukan dan prestasi-prestasi mubarakah yang ia raih. Keadaan
Masyarakat dan Lingkungan Keadaan masyarakat dan lingkungan orang yang takarrub
kepada Allah juga terus menerus bergerak menuju kebahagiaan dan kesejahteraan
yang diridhai oleh Allah SWT . Sebab dari diri orang yang takarrub kepada Allah
akan memancar cahaya, yaitu cahaya dalam bentuk amaliyah-amaliyah salihah tadi,
yang dapat menghilangkan kepekatan-kepekatan sosial dan kesemerawutan tatanan
kehidupan dan lingkungan, sehingga apa yang disebut di dalam Al-Qur’an dengan
baldatun tayyibatun wa rabbun gafur dapat terwujud menjadi kenyataan.
Makna Instrumen tal ‘Id al-Adha/ Ibadah Kurban. Nilai-nilai, semangat, dan sejarah berkurban seperti yang telah kita sebutkan hanya akan menjadi “laksana mutiara dalam lumpur” manakala kita tidak dapat mewujudkannya ke dalam kenyataan hidup dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, sesuai dengan maksud dan tujuannya, seyogyanya ibadah kurban yang disyari’atkan oleh Allah ini, kita jadikan sebagai sarana pendidikan; kita jadikan sebagai instrumen atau alat untuk mewujudkan nilai-nilai intrinsiknya (harkat yang terkandung di dalamnya ) diaplikasikan dalam kenyataan kehidupan kita sehari-hari, sehingga sesuai dengan sifatnya dan kemanfaatannya dapat dirasakan secara bersama-sama, terutama oleh masyarakat dan lingkungan di mana kita berada.
Makna Instrumen tal ‘Id al-Adha/ Ibadah Kurban. Nilai-nilai, semangat, dan sejarah berkurban seperti yang telah kita sebutkan hanya akan menjadi “laksana mutiara dalam lumpur” manakala kita tidak dapat mewujudkannya ke dalam kenyataan hidup dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, sesuai dengan maksud dan tujuannya, seyogyanya ibadah kurban yang disyari’atkan oleh Allah ini, kita jadikan sebagai sarana pendidikan; kita jadikan sebagai instrumen atau alat untuk mewujudkan nilai-nilai intrinsiknya (harkat yang terkandung di dalamnya ) diaplikasikan dalam kenyataan kehidupan kita sehari-hari, sehingga sesuai dengan sifatnya dan kemanfaatannya dapat dirasakan secara bersama-sama, terutama oleh masyarakat dan lingkungan di mana kita berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar